Mengenai Saya

Foto saya
solo, jawa tengah, Indonesia
"baeg, ramah, sopan"

Selasa, 11 Oktober 2011

Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat

ADIK perempuan saya berumur 27 tahun. Dua tahun lalu dia menikah dengan kekasih pilihannya. Selama enam bulan pernikahan semua tampak berjalan baik, tetapi setelah itu adik saya tampak sering murung. Kemudian saya curiga telah terjadi sesuatu. Waktu itu saya perhatikan lengan adik saya bengkak. Ketika saya tanyakan, dia menyatakan lengannya bengkak karena jatuh. Saya menganjurkan dia pergi ke dokter, namun dia tidak pergi.
Beberapa saat kemudian, saya lihat mukanya yang bengkak, kali ini ia bilang karena jatuh di kamar mandi. Saya kurang percaya. Saya ajak dia bicara serius. Semula dia tidak mengaku. Kemudian dengan tangisan dia menceritakan sering dipukuli suaminya. Terakhir mukanya dilempar dengan benda tumpul hingga bengkak.
Ketika adik saya hamil, suaminya memaksa agar kandungannya digugurkan. Adik saya menolak. Suaminya semakin kesal tampaknya. Pernah satu kali adik saya ditendang suaminya di daerah perut. Dia muntah-muntah dan keesokan harinya ada sedikit pendarahan. Untunglah keadaan kandungannya setelah diperiksa USG dinyatakan cukup baik. Saya amat prihatin dan telah mengomunikasikan hal ini pada anggota keluarga yang lain. Kami semua prihatin, namun tak tahu harus berbuat apa. Apakah kekerasan pada wanita hamil dapat menyebabkan kelainan pada bayinya? Apakah dengan kondisi seperti itu dia menunda untuk punya anak karena dikhawatirkan kekerasan akan berulang kembali? (Surat seorang kakak mengenai tindak kekerasan yang menimpa adiknya dimuat pada rubrik "Konsultasi Kesehatan" Kompas, Minggu, 9 November 2003)
Kekerasan
Kekerasan tidak saja berdampak terhadap diri korban, namun juga masyarakat secara keseluruhan. Kekerasan mengakibatkan korban menderita fisik dan psikologis, mulai dari luka fisik hingga perasaan ketakutan berkepanjangan. Pada tahap yang berat, kekerasan dapat menimbulkan sakit menahun hingga kematian pada korban.
Studi di beberapa negara menunjukkan keterkaitan erat antara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pembunuhan. Di Kanada misalnya, pada tahun 1998 ditemukan 4 dari 5 pembunuhan di dalam rumah adalah pembunuhan suami terhadap istri. Di Amerika, satu dari tiga pembunuhan di dalam rumah menimpa perempuan.
Direktur Jenderal WHO Dr Gro Harlem Brundtland mengatakan, angka kematian perempuan akibat kekerasan di negara berkembang lebih dari enam orang perseratus ribu penduduk. "Lebih dari 40 tahun kami bekerja untuk peningkatan kualitas hidup manusia, tetapi hasilnya tidak seimbang. Sebagian besar perempuan di dunia masih menderita karena kemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan. Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak bekerja keras menyelesaikannya," ujar Brundtland.
Bertepatan dengan Hari Antikekerasan terhadap Perempuan tanggal 24 November 2002, WHO meluncurkan laporan dunia mengenai kekerasan dan kesehatan. Dipaparkan, hampir separuh perempuan mati oleh suaminya dan mantan pasangan hidupnya. Kekerasan terhadap perempuan mencakup tujuh persen dari seluruh penyebab kematian perempuan.
Laporan itu juga menunjukkan, di beberapa negara, lebih dari 68 persen perempuan teraniaya secara fisik dan lebih dari 47 persen perempuan melaporkan kekerasan yang dialaminya saat persetubuhan pertama.
Namun seperti dalam kasus di atas, sering kali perempuan tidak mau melaporkan kekerasan yang dia alami kepada keluarga, apalagi pada aparat penegak hukum. Keengganan ini salah satunya disebabkan budaya yang mengonstruksikan tabu- tabu seputar persoalan kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga.
Dr Samsuridjal Djauzi yang mengasuh rubrik "Konsultasi Kesehatan" Kompas memaparkan, ia pernah menghadapi perempuan muda yang berkali- kali datang dengan trauma yang diakui akibat kecelakaan. Namun, setelah beberapa kali kunjungan, terungkap sebenarnya dia dianiaya suaminya.
Instrumen baru
Jika kita memahami pentingnya layanan kesehatan bagi perempuan korban kekerasan, diperlukan sistem kesehatan yang terlibat secara aktif. Keterlibatan ini khususnya mencakup pendokumentasian kasus kekerasan dan menyediakan pelayanan sebagai upaya pemulihan bagi korban.
Tidak adanya sistem rekam medis yang mencatat luka dan akibat kekerasan fisik lainnya terhadap perempuan menyebabkan keterbatasan pendokumentasian kasus-kasus kekerasan. Tahun ini WHO mengembangkan International Classification for External Causes of Injuries (ICECI) yang melengkapi International Classification of Diseases (ICD). WHO juga akan mengeluarkan Injury Surveillance Guidelines sebagai rujukan untuk mengembangkan sistem informasi guna memperoleh data sistematik tentang luka fisik dan kerusakan bagian tubuh akibat kekerasan.
Dua terobosan itu sangat dinantikan agar dapat diperoleh data akurat mengenai korban kekerasan yang mendapat akses layanan kesehatan. Kebutuhan lain adalah peningkatan kapasitas bagi dokter dan tenaga medis untuk menghadapi persoalan kekerasan terhadap perempuan. Kurikulum pendidikan kedokteran dan kesehatan di Indonesia sampai sekarang masih belum memasukkan bahasan tentang kekerasan terhadap perempuan. Ini menyebabkan dokter dan tenaga medis tidak mengenali dan kesulitan menangani perempuan korban kekerasan.
Penyediaan layanan khusus bagi perempuan korban kekerasan dengan mendirikan Pusat Krisis Terpadu (PKT) Bagi Perempuan dan Anak masih harus digalakkan agar layanan berbasis rumah sakit dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia. Pemberdayaan puskesmas sebagai layanan dapat menjawab kebutuhan pelayanan perempuan korban kekerasan di daerah pedesaan atau daerah terpencil. Data yang akurat mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan penting untuk meyakinkan pemerintah mengenai seriusnya persoalan ini.
Multisektoral
Pada awal tahun 2003, WHO merekomendasi perlunya mempromosikan pencegahan kekerasan dengan pengembangan program sosial, mengurangi ketidakadilan, pemberdayaan polisi, serta sistem peradilan.
Menurut rekomendasi itu, sektor kesehatan masyarakat harus bekerja sama dengan kepolisian, sistem hukum pidana, pendidikan, kesejahteraan sosial, ketenagakerjaan, dan sektor lain untuk menghadapi persoalan kekerasan terhadap perempuan. Keterpaduan para penyedia layanan dari keempat sektor itu penting untuk pemulihan medis, psikologis, hukum, dan psikososial pada korban.
Dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk memberi landasan hukum dan operasional serta alokasi anggaran untuk memastikan layanan bagi perempuan korban kekerasan dapat berjalan.
Sebagai contoh, di Surabaya, Jawa Timur, dua organisasi pengada layanan, yaitu Samitra Abhaya-KPPD dan Savy Amira, berhasil membuat Badan Pemerintah Provinsi (Bappeprov) mengalokasikan anggaran khusus bagi persiapan dan pelaksanaan Pusat Penanganan Terpadu bagi Perempuan Korban Kekerasan yang berpusat di RS Bhayangkara Surabaya.
Di Bone, Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Bone mengalokasikan Rp 50 juta untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Kabupaten Bone. Di Bengkulu, Biro Pemberdayaan Perempuan didorong oleh Cahaya Perempuan Women Crisis Centre telah melakukan serangkaian kegiatan untuk persiapan pengembangan layanan lintas sektoral.
Pada tingkat nasional, pada akhir Oktober 2002 lahir Surat Kesepatan Bersama (SKB) mengenai Penanganan Terpadu Bagi Perempuan Korban Kekerasan yang ditandatangani tiga menteri dan satu instansi, yakni Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Namun, belum ada alokasi anggaran khusus di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk penyediaan layanan bagi perempuan korban kekerasan.
Kebutuhan lain adalah pengesahan segera Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU Anti KDRT), dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Bagi Saksi/Korban. Ketersediaan layanan dan perangkat hukum yang berpihak bagi perempuan korban kekerasan akan sangat membantu memulihkan diri trauma akibat kekerasan itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar